ARTICLE AD BOX
Ogoh-ogoh setinggi 3,5 meter dan lebar 2,5 meter ini dikerjakan secara gotong-royong sejak Desember 2024, dengan estimasi anggaran sekitar Rp7 juta. Meski terbilang minimalis secara biaya, karya ini hadir dengan kualitas detail dan ekspresi yang mencolok.
“Kami berusaha menampilkan karya maksimal dengan anggaran terbatas. Tujuannya adalah meningkatkan kreativitas dan suportivitas sumber daya manusia di Banjar,” ujar perancang Ogoh-Ogoh, I Gede Hadi Susena, 33.

Tema Nyambleh Kucit Butuan sendiri merujuk pada rangkaian upacara Bhuta Yadnya yang bertujuan menetralkan kekuatan negatif (Bhuta Kala), baik secara sekala (fisik) maupun niskala (spiritual). Tema ini dianggap relevan dengan berbagai fenomena yang terjadi belakangan, seperti bencana alam dan meningkatnya kasus kriminalitas sosial.
“Fenomena seperti angin kencang, banjir, pembunuhan, pembuangan bayi, dan pencurian menjadi latar penting kami memilih tema ini. Ogoh-ogoh menjadi media komunikasi yang indah untuk mengingatkan agar pikiran manusia dan kondisi alam semesta tetap selaras,” tambah Hadi Susena yang juga seorang advokat ini.
Karya Ogoh-Ogoh ini tidak menggunakan mesin dan sepenuhnya mengandalkan kekuatan desain anatomi, mimik wajah, serta detail pepayasan. Dengan titik konstruksi utama pada kedua kaki, ogoh-ogoh ini dibentuk realistis tanpa unsur ekstrem. Selain tokoh utama, juga terdapat dua tokoh pendukung yang memperkaya narasi visual.
Meski tidak mengikuti lomba tingkat kabupaten, ST Wira Sentana tetap berpartisipasi di tingkat desa. Proses kreatif ini juga dijadikan ajang pembelajaran untuk memperkuat karya di tahun-tahun mendatang.
“Masukan juri sangat kami butuhkan. Harapan saya, ke depan ada regulasi lomba yang membedakan antara ogoh-ogoh mesin dan non mesin agar lebih adil. Dan kami berharap pemerintah lebih banyak menyelenggarakan kegiatan serupa agar generasi muda Badung terlibat dalam aktivitas positif dan pelestarian budaya,” imbuh alumnus Fakultas Hukum Universitas Udayana ini.
Di sisi lain Hadi Susena juga menyayangkan maraknya kasus pembakaran dan perusakan ogoh-ogoh belakangan ini. Ia berharap keamanan dari pihak pecalang maupun kepolisian ditingkatkan menjelang dan saat malam pengerupukan.
“Kami ingin budaya ini tetap lestari dan tidak ternodai. Bali bukan hanya indah karena alamnya, tapi juga karena budayanya,” pungkasnya. *m03